Separuh dari kursi tersebut diperebutkan secara langsung lewat kotak suara. Sehari sebelum Pemilu berlangsung, Chief Executive Hong Kong Leung Chun-ying mencabut rencana pemerintah menerapkan pelajaran patriotisme.
Isu tersebut masuk dalam perubahan kurikulum yang diusulkan oleh Leung Chunying. Belakangan rencana itu mendapat reaksi keras masyarakat Hong Kong. Dalam upaya menentang penerapan pelajaran patriotisme, para siswa, guru dan orangtua murid aktif berdemonstrasi selama beberapa waktu terakhir ini.
Aksi turun ke jalan diikuti ribuan rakyat Hong Kong dan membuat pemerintah mengalah untuk tidak menerapkan kebijakan itu. Leung mengatakan sekarang sekolah dibebaskan untuk menerapkan atau tidak menerapkan pelajaran patriotisme, namun pada tahun 2015 hal itu menjadi keharusan. Aksi protes dalam sehari diikuti rata-rata oleh 120.000 orang dan menyebabkan pemerintah terpaksa mengerahkan 36.000 polisi untuk pengamanan.
Selama 15 tahun terakhir sejak kembali ke pangkuan China, Hong Kong menikmati kebebasan seperti ketika masih dijajah Inggris. Rakyat bebas mengutarakan pendapat, ada hak berserikat dan media yang bebas. Mereka cemas perubahan kurikulum akan membuat kebebasan mereka terkekang oleh campur tangan negara yang mendalam. Munculnya dokumen yang disebut ‘The China Model’ meresahkan rakyat Hong Kong. Dokumen ini mengajarkan kemungkinan penerapan partai tunggal di Hong Kong seperti di China. (AP/Bro)
